Serapah Abah

by - January 08, 2018

Husni merapal setiap malam, yang ia panjatkan hanyalah kebaikan dan keselamatan bagi Murti. Kepedihan yang berlangsung selama seperempat windu tersebut hampir menghilangkan  kewarasannya.
Ti, sudikah kau mencabut serapah yang sudah kau muntahkan itu?
Husni terpaku, berada tepat di beranda rumah gadis cendekiawan itu. Ia mengepalkan tangannya pertanda kecewa, kemudian berbalik dan berlalu.
Murti hanya mampu berteriak dibalik tirai, menangis dibalik topeng antagonis dan menerima dibalik pagar pembatas. Tak bisa dipungkiri seorang gadis yang berada itu tak mungkin menjilat ludah yang sudah ia keluarkan. Orang berada takut dan tak tahu harus menyembunyikan muka mereka dimana kalau sampai hal itu terjadi. Namun tidak berlaku untuk Murti, hatinya sudah terpaut dengan Husni. Sekarung brotowali pun berani ia lahap.
“Abah, bagaimana aku bisa merasakan kepahitan Husni sampai disini?” Telapak tangan kanan Murti menggetarkan ulu hatinya. “Serapahku, aku telan seperti juga Husni menelannya. Abah...”
Laki-laki paruh baya itu berlalu. Menutup pintu rumah sekenanya. Meninggalkan Murti yang terduduk dilantai sambil memeluk nampan yang tadinya untuk membawa kopi. Murti tersentak meninggalkan tetes demi tetes di rautnya. Masih terduduk. Kopi diatas meja mulai mendingin. Dingin, layaknya sikap Abah yang muncul sejak Husni mengantarkan setandan pisang untuknya.
---

“Husni, hendak pergi kemana?”
“Bantu emak sama bapak di ladang, Murti?”
“Ikut ke ladang, boleh? Murti tidak pernah dibolehkan main di ladang. Untuk kali ini saja Husni jangan bilang Abah.”
“Aku takut. Murti pulang saja nanti Abah mencari.”

Murti tak bisa menyimpan erat rasa penasarannya terhadap sesuatu hal yang baru. Apalagi ia sudah beranjak dewasa. Satu-satunya gadis desa Bulu yang sekolah di kota dan menjadi guru bagi anak-anak desa. Mulai saat itu ia memberanikan diri melanggar aturan-aturan yang Abah berlakukan.

Pic source: destianasi-indonesia.com
Setiap hari sepulang sekolah Murti selalu membawakan makanan untuk Husni dan juga emak bapaknya. Terik matahari sudah menjadi biasa menerpa kulit yang setiap hari dilulur itu. Sorenya, Husni selalu menjemput Murti untuk belajar mengaji bersama di surau. Abah tak pernah melihat sosok Husni. Abah hanya mendengar cerita dari anak gadisnya itu bahwa Husni pandai berqira’ah. Setiap adzan berkumandang, Murti selalu mengatakan kepada Abah bahwa itu Husni yang ia maksud.
“Ti, yang tadi mengantarmu pulang itu Husni yang kau maksud?” Abah nampak mulai hangat dengan keberadaan Husni.
“Iya, Bah. Besok nak ajak Husni main ke rumah, boleh?”
“Ish... tak patut anak gadis membawa laki-laki masuk ke dalam rumah. Apa kata orang nanti? kecuali ia datang bermaksud baik untuk melamar.” Abah sedang asyik membaca surat kabar.
“Di beranda rumah kan bisa, Bah”
“Iya, tapi besok tunggu sampai Abah pulang ya, Abah ingin lihat dari dekat laki-laki rupawan itu.”
Murti mengembangkan sudut bibirnya. Menurutnya Abah menjadi lebih bersikap hangat kepadanya. Jarang sekali Abah menerima laki-laki desa untuk berteman dengan Murti. Sampai-sampai diperbolehkan main ke rumahnya.
---
“Assalamualaikum.” Sosok laki-laki paruh baya berjalan dari arah pagar halaman menuju beranda.
“Waalaikumsalam.” Husni dan Murti serempak menjawab salam Abah.
“Bah...” Murti mencium tangan Abah lalu mengambil jas beludru milik Abah dan membawanya masuk ke dalam. Kemudian kembali duduk di kursi rotan di depan Abah dan Husni yang sedang berbincang.
“Abah, ini Murti bawakan kopi kesukaan Abah. Oh iya Bah, ini Husni.” Perbincangan mereka terhenti. Raut wajah Murti berbingar. Husni membalas tatapan Abah dengan senyumnya yang bersahaja.
“Murti, banyak cerita tentang kamu.”
“Oh iya Bah, ini ada sedikit hasil panen dari ladang untuk Abah sekeluarga.”
“Sudah jelas. Kamu tidak ada apa-apanya dibanding Azhar. Lekas habiskan tehmu.”
“Abah...” Dahi Murti berkerut. Abah meninggalkan keduanya. Murti berusaha mencegah Husni meninggalkan tempat duduknya. Malang, Husni dengan cepat mengayuh sepeda onthelnya berharap saat menoleh pandangannya tak lagi pada pagar bercat biru muda itu.
---
Detik jam dinding yang teratur menemani Murti yang sedang terpaku dijendela kamarnya. Detik itu terdengar sangat jelas dan terkadang membentuk irama yang berganti-ganti dalam imajinasi. Sesunyikah ini? Gadis itu meraung-raung dalam batin. Desa Bulu nampak lebih senyap daripada malam-malam biasanya. Menatap kabut malam yang hendak menutupi bulan. Berharap Husni lupa akan kejadian tadi sore setelah seharian tak ke ladang atau mengaji di surau bersama. Namun Murti menyadari bahkan ia pun membenci dirinya sendiri.
Husni bin Mail, tak sudi aku bersamamu lagi. Bahkan tak ku makan pula pisang yang engkau berikan kepadaku. Azhar lebih lebih daripadamu. Menyesalku pernah bersanding denganmu. Jangan lagi lagi kau memanggil namaku.
Murti terus terbayang saat-saat dimana serapahnya ia muntahkan juga didepan emak dan bapaknya. Dari dasar hatinya Murti yakin Husni lebih membenci dirinya daripada Abah. Dari dasar hatinya pula Murti masih berharap Husni memahami, jauh lebih paham bahwa sosok yang berserapah saat itu bukan dirinya melainkan Abah.

---
Total karya Cerpen yang masuk kurang lebih 1300. Ada 38 cerpen terpilih, 3 sebagai pemenang, 20 sebagai cerpen populer, sisanya masuk sebagai katergori cerpen paling oke tiap genre. Cerpen saya berjudul "Serapah Abah" masuk ke dalam kategori cerpen paling oke di genre cerpen romantis. (Kontes Menulis Cerpen Perdana  sastramu.com Tahun 2015)




You May Also Like

0 comments

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Powered by Blogger.

Translate