Senja di Langit Abu-Abu

by - January 04, 2018

Ia sampai lupa bagaimana rasanya dipeluk seorang ayah. Sekedar untuk mengobrol pun jarang. Apalagi untuk jalan berdua. Dua tahun sudah ia tak melihat paras pria itu setelah insiden perpisahan yang begitu mengiris hatinya.
“Sa, besok ada acara?”
“Nggak, ada apa?” Bibirku mengembang sesenti ke kanan dan kiri. Aku menanti jawaban itu beberapa jam yang lalu, Sa. Untuk menemuimu saja ku persiapkan sebaik mungkin agar hadirku membuatmu tersanjung. Gumamku.
---
Seperti biasa, yang aku lakukan sebelum bertemu dengannya, ku rapikan kerah kemejaku, mengacak sedikit rambutku, campuran aroma lemon segar dan bergamot, bunga zaitun, kayu guaiac, dan biji tonka mendarat di bagian tekuk dan bawah lenganku. Aku berharap kehadiranku bisa melupakan sejenak beban di pundaknya. Melupakan segala hal yang berputar-putar di otaknya.
“Kok aku nggak dikasih tahu ini mau kemana?”
Aku menahan tawaku agar tidak meledak menjadi bahak. Aku akan membawanya dimana ia bisa melihat gradasi warna oranye favoritnya. Angin menemani kami menikmati perkebunan karet yang batangnya condong serempak. Seharusnya bisa menjadi petunjuk baginya karena merekalah penanda arah dimana tempat ini berujung.
“Jangan bercanda ya?!” Nada bicaranya terdengar menyentak.
“Iya, aku serius, Sa. Tenang saja. Aku akan selalu di sampingmu.” Ia menepuk keras punggungku. Tetap saja tak berpengaruh, sentuhan tangannya yang lembut tak sedikitpun membuatku kesal. Aku benar-benar telah tenggelam jika disampingnya.
“Sa, lihat ke depan.”
Hamparan pasir putih dan pantulan warna biru dari langit yang dibatasi oleh garis linear membuatnya berdecak kagum. Aku yakin ia tak pernah merasakan sedamai ini. Terlihat jelas dari hembusan nafasnya yang perlahan menyentuh telinga kananku.
“Ini masih jauh. Kita sedang berada di atasnya. Pegangan yang kuat, sesekali kita akan melewati jalanan terjal.” Ia memegang erat jaketku. Kurasakan pipi kanannya menyentuh punggungku. Ketakutan tentang jalanan yang terjal tidak seberapa baginya. Kehilangan orang yang ia sayangilah yang menjadikannya takut diatas segala ketakutan yang berusaha ia tutupi.
Ia selalu mengingatkanku untuk berkendara dengan hati-hati. Sebenarnya hari ini ia tak mau pergi jika tidak dengan paksaan. Aku tidak mengenakan helm dan menyuruh untuk membebaskan rambutnya tanpa helm. Tentu hanya dengannya aku melaju maksimal 40 km/jam. Setiap aku menaikkan kecepatan ia selalu mengingatkanku untuk perlahan. Setiap gemuruh awan yang entah tiba-tiba menyajikan gelap ia selalu menyuruhku untuk berbalik arah. Ia tak pernah memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri. Baginya keselamatan orang-orang yang ia sayangilah yang utama.
“Sa, apapun yang kamu rasakan, berbagilah. Sepahit apapun itu aku pasti akan menelannya. Sekalipun kamu berbohong, setidaknya aku tulus membantumu.” Kali ini pegangannya semakin erat. “Kita hampir sampai.”
Aku sengaja menghentikan motorku tidak pada area wisata. Aku mengambil celah lain untuk menikmati pantai itu sehingga jauh dari keramaian.
“Sa, berlarilah sepuasmu, bermain-mainlah sesukamu, sore ini sampai kapan pun akan tetap ku tegakkan kelopak ini, akan ku usahakan terjaganya raga ini, tak sedikit pun aku lengah oleh tingkahmu. Jika aku terlelap nanti, ku pastikan malaikat mengawasimu agar kamu tak mengikutiku. Percayalah, hati ini akan selalu terpaut padamu.” Ia tetap pada posisi duduknya sembari memegang erat jaketku.
“Sa?”
“Aku akan melanggarnya.” Ia bergegas turun. Menarik tangan kiriku yang masih dalam posisi meneyetir. “Ayo, kita lari bersama-sama.” Matanya berkaca-kaca. Lalu berhenti sejenak.
“Sa, tak usah kamu sembunyikan air di kantung matamu yang menggemaskan itu. Jika ayahmu datang dan akan membawamu pergi. Akulah orang kedua yang akan menghalanginya. Karena yang pertama pastilah sosok ibu yang selama ini kamu sayangi.”
Ia kembali menarik tanganku. Mengajakku berlari-larian menerjang hamparan pasir putih yang begitu bersih. Aku terseret-seret hingga alas kaki aku tinggalkan entah di sebelah mana. Jarang sekali ia menampakkan giginya yang rapi dan putih itu. Entah apa yang sedang ia rasakan. Tentu ini membuatnya sangat bahagia. Rambutnya mengayun manis bagai selendang satin berwarna hitam pekat yang diterpa angin. Dalam hati aku berdoa, semoga aku tak terkantuk.
“Aku capek... Hahaha...” Ia menghempaskan tulang duduknya. Nafasnya terengah-engah. Aku merebahkan punggungku di sampingnya lalu memejamkan mata sejenak. Menghirup udara perlahan. Bibirku tersungging otomatis menikmati suasana sore ini.
“Han, jangan merem. Aku takut. Ayo balik. Awan semakin gelap. Aku tak yakin oranye akan muncul.” Ia mengguncangkan kakiku.
“Han?” Semakin menjadi-jadi ia mengguncangkan bahu hingga menepuk kedua pipiku. “Han?! Jangan bercanda, Hanung! bangun!”
“Hahaha...” Tak kuasa aku menahan bahakku. Hingga membuatku beranjak bangun dalam posisi duduk. “Sa, Sa, aku tahu sebenarnya bukan awan gelap yang membuatmu ketakutan. Kamu takut jika aku benar-benar terlelap. Hahaha...”
“Nggak lucu. Kamu ini bikin aku khawatir saja.” Ia menundukkan kepalanya.
“Prisa! Lihat!” Aku mengangkat telunjukku ke arah barat. Warna merah yang menghiasi  langit pada saat sang surya tenggelam dan muncul terjadi karena ada kombinasi penyebaran rayleigh warna biru dan tingkat kepadatan atmosfer bumi. Namun tidak untuk sore itu. Suguhan Tuhan yang diberikan kepada kami kali ini ialah langit abu-abu dengan garis-garis tipis oranye yang sesekali tertutupi gumpalan awan yang bergerak.
“Tuhan, persembahkan ini spesial untukmu Sa.”
“Maksudmu?”
“Disaat sedang terpuruk, percayalah masih ada secercah harapan untuk bangkit.” Serempak kami saling berhadapan. Kedua mata kami bertautan. Kali ini bendungan air matanya meluap. Payahnya, Ia selalu berusaha untuk tampil tegar. Dengan sigap kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Aku meraih rambutnya hingga mendaratkan kepalanya ke bahu kiriku. Kami berdua tenggelam hingga petang, mensyukuri apa yang dianugerahkan-Nya.


pic source: www.geminisailing.com
---
PS: Dari 1.344 naskah peserta yang masuk, sebelumnya sudah ditetapkan 192 Nominator yang naskahnya dibukukan. Rencana awal akan dipilih 100 nominator yang berpeluang menjadi Sang Juara, namun setelah melakukan penjurian ketat, hanya terpilih 81 naskah yang berpeluang masuk ke tahap seleksi selanjutnya. Hasilnya cerpen saya berjudul "Senja di Langit Abu-Abu" harus berhenti di tahap ini. (Lomba Cipta Cerpen Remaja Tingkat Nasional Tahun 2015 oleh Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia)




You May Also Like

0 comments

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Powered by Blogger.

Translate