A Journey of Scholarship Hunter
Ya Allah akhirnya sampai pada tulisan blog tentang perjalananku mencari beasiswa ini. Alhamdulillah tsumma alhamdulillah. Sebenarnya agak susah untuk mengingat kapan jelasnya aku punya mimpi buat kuliah ke Jepang. Kalau dirunut timeline di facebook sih sejak aku SMP aku sering banget posting foto dan status terkait, haha. Bahkan aku ikut macem-macem grup belajar bahasa Jepang disana. Pada kesempatan ini, aku lagi nggak mau ngomongin banyak soal "gimana kok bisa punya mimpi ke Jepang" disini, tetapi mimpi itulah yang mengantarkanku dan menjadi pemantik untuk semangat belajarku melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi melalui beasiswa. Berkat itu juga, aku jadi punya gambaran dan impian untuk meraih cita-cita sekolah gratis. Karena tidak bisa dipungkiri, Jepang menjadi bagian dari perjalanan pertama beasiswaku. Sampai-sampai aku pernah bilang ke diri sendiri atau bahkan orang lain (pastinya yang sudah aku kenal dekat) "Kalau tujuanku ke Jepang itu bukan untuk liburan atau jalan-jalan biasa, karena tentu tidak punya biaya untuk itu, lalu bagaimana kalau ke Jepang-nya gratis dan tujuannya ya sambil belajar, pasti seru!"
Tulisan ini akan panjang, karena memang buat catatan pribadi hehe, jadi kalau teman-teman kurang berkenan, skip-skip tidak masalah langsung aja ke subjudul yang terkait ya.
---
Berawal dari Jepang
Tinggal di desa dengan lingkungan dan circle pertemanan yang bukan dari kalangan orang kuliahan, membuatku menelusur dunia maya begitu sering. Aku inget jelas pada saat SMP dan SMA, kita perlu ke warnet (warung internet) dulu kalau mau berselancar. Kalau dipikir aku giat banget dulu ikut diskusi tiap malam buat belajar bahasa Jepang. Kurangnya informasi membuatku hanya mengerti bahwa kalau ke Jepang ya harus bisa bahasa Jepang, sederhananya seperti itu. Aku jadi punya beberapa teman kenalan di facebook yang juga bekerja sambil kuliah disana, namanya juga circle, pasti akan ketemu orang baru yang ternyata temennya temen. Hingga aku kuliah pun sempat ambil jurusan sastra Jepang pakai lintas jalur soshum karena sesederhana aku ingin belajar bahasa Jepang. Merasa bahwa S1 sangat tidak mungkin mendapat beasiswa ke Jepang (bener-bener no clue, berbeda kalau jaman sekarang handphone semua sudah smartphone dan akses informasi seputar beasiswa dapat diakses dengan mudah, dimanapun ada), jadi aku maksimalkan potensi kalau-kalau misal aku kuliah sastra Jepang pastilah ada kesempatan entah sekedar pertukaran mahasiswa atau proyek dari kampusnya (sesederhana itu memang dulu pikiranku wkwk).
Semasa kuliah hampir tiap hari mencari kesempatan untuk exchange, leader summit, youth gathering, dll dengan tujuan negara ke Jepang aku pasti ikutan daftar wkwk (ya seperti dugaan teman-teman tidak ada satupun yang lolos). Singkatnya pasca wisuda S1, berbekal dari hasil riset dan penggalian informasi dengan berselancara sendiri semasa kuliah, join ke grup-grup telegram, ikutan seminar-seminar beasiswa, dateng ke pameran-pameran beasiswa, kenalan dengan beberapa temen di dunia maya (bahkan masih pada akrab sampai sekarang), aku mulai memberanikan diri mengirim e-mail ke salah satu Profesor di salah satu universitas di Jepang. Posisi saat itu aku sedang bekerja merantau ke luar pulau Jawa. Up and down belajar TOEFL (karena aku sadar bahasa Jepang tidak semudah itu apalagi untuk mencapai JLPT N3 wkwk), sejak 2019 sampai 2020 tiap pulang kerja pasti sempetin belajar soal-soal dan tiap weekend kadang main ke universitas dekat kos-an untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif, hingga sepertinya alam semesta mendukung, aku berteman baik dengan salah satu mahasiswa akhir yang juga sedang berusaha mendaftar beasiswa ke Jepang di perpustakaan. Kabar buruknya, jurusan dan universitasnya sudah ada MoU yang mana itu bisa lebih mempermudah proses penerimaan, sedangkan di jurusanku tidak ada MoU dengan universitas Jepang manapun. Cuman, kalau untuk beasiswa peluangnya juga tipis, mengingat skema atau alurnya yang begitu rigid.
Akhir tahun 2019 aku memberanikan diri mengontak salah satu Profesor di Jepang (pemilihan Profesor ini tentu sudah aku persiapkan jauh lamanya sejak kuliah S1, dan untuk draft personal statement beserta mini proposal juga terus aku kembangkan secara mandiri). Berbekal sharing dengan teman kenalan di perpustakaan tadi, sekali coba, e-mailku langsung dibalas beberapa menit. Temanku pun kaget, karena jarang dosen disana akan langsung respon secepat itu kalau bukan memang beliau benar-benar tertarik. Beliau pun langsung meminta ID Skype dan kesediaan waktuku untuk ngobrol bareng soal rencana riset yang aku paparkan di email tadi. Seneng campur aduk rasanya.
Singkat cerita aku ambil cuti kerja sehari karena jadwal Skype pagi jam 9 waktu Jepang. Seneng banget rasanya saat itu bisa kenalan dan ngobrol santai dengan Profesor yang aku ingin gabung ke lab-nya. Sorenya beliau langsung mengirimiku LoA (Letter of Acceptance) Conditional untuk bisa bergabung ke lab-nya. Mengingat kampusku tidak ada MoU dengan kampus beliau sehingga tidak bisa pakai skema MEXT U to U. Aku diberi beberapa materi untuk belajar entrance exam, pokoknya baik banget Prof-nya. Beliau pun menyemangatiku untuk proses aplikasi beasiswa lainnya.
Rotary Yoneyama Scholarship
Akhir tahun 2019 pas ada beasiswa ke Jepang yang buka, yaitu Rotary Yoneyama Scholarship, aku coba apply dengan berbekal LoA dari Prof tadi. Pada saat itu (hingga saat ini sih wkwk) aku fokus dengan beasiswa-beasiswa yang bisa di apply tanpa sertifikat kemampuan bahasa ataupun mentok ya pakai TOEFL ITP. Selain belum siap belajar IELTS, harga tesnya yang amat mahal, sangat menjadi pertimbanganku. Sejak semester akhir hingga kuliah alhamdulillah aku sudah mandiri finansial, sudah tidak pernah minta uang saku atau pun lainnya. Sebab harus dari nol belajar IELTS dan belum tentu hasilnya juga memuaskan, sehingga aku memilih untuk terus fokus belajar TOEFL ITP, toh kalaupun skornya masih belum sesuai, harga tes selanjutnya masih bisa kujangkau. Benar saja, aku mengikuti tes TOEFL ITP total 4x sejak 2019-2020. Banyak sebab dan strategi yang kurang tepat pada saat aku belajar sembari bekerja dan hari H-1 yang tidak banyak persiapan. Singkatnya aku belum lolos administrasi di beasiswa ini, karena LoA yang diminta ternyata adalah LoA Unconditional. Aku kurang teliti membaca dokumen persyaratan. :(
MEXT Scholarship
Tahun 2020, dengan berbekal nekat, aku beranikan diri mengirim aplikasi ke Kedutaan Besar Jepang. Sebenarnya dari awal pengiriman tuh udah yakin ngga bakal lolos wkwk, karena Jepang bener-bener negara yang strict akan peraturan. Skor TOEFL-ku masih jauh dibawah persyaratan, yang mana pada saat itu MEXT (Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology) membuat syarat untuk skor minimal 570, tetapi tetap aku beranikan mencoba sebagai pengalaman. Meskipun berbekal nekat, tapi aku benar-benar mempersiapkan aplikasi secara matang (kecuali skor TOEFL tadi wkwk) dimulai dari formulir, surat rekomendasi, statement of purpose, proposal riset dan sebagainya. Tentulah aku belum lolos administrasinya, tapi entah kenapa perasaanku penuh lega karena aku berani mendaftar dan mempersiapkan berkas-berkasnya yang amat banyak dan ribet untuk beasiswa ini.
Global Korea Scholarship
Tahun 2021, aku mulai move on dari Jepang. Beasiswa penuh di Jepang untuk jurusanku yang bisa di apply sudah aku coba, selebihnya terkhusus untuk jurusan tertentu, kemudian kampusku juga ngga punya LoA dengan universitas di Jepang, target skor TOEFL yang tinggi masih belum tercapai. Akhirnya aku coba merenung, meluruskan niat belajarku untuk tidak harus ke Jepang.
"Apa tujuan dari lanjut kuliah? apa yang ingin aku capai? apa harus ke Jepang? sebenarnya apakah harus keluar negeri? atau perlu melipir lagi dulu buat ke Jepang?"
Mencari-cari informasi beasiswa sambil bekerja benar-benar penuh tantangan. Kita harus terus merawat mimpi dengan tetap menjalani realitas sehari-hari untuk bekerja. Mengelola perasaan agar terus termotivasi untuk belajar itu bener-bener challenging. Karena bisa saja aku menyerah dan mengubur mimpi lanjut kuliah. Kuliah dengan biaya mandiri, tidak ada dalam pilihan di kondisiku saat itu. Kalau aku mau lanjut kuliah ya harus mengusahakan sendiri, sementara juga sedang menabung untuk bekal kuliah adikku nanti. Aku tidak ingin ia berhenti sampai SMA saja, karena dia pintar dan berprestasi di sekolah. Semangatku dalam bekerja selain untuk biaya administrasi beasiswa ya juga buat tabungan adikku nanti. Aku benar-benar totalitas mengusakan jalan ninjaku jadi scholarship hunter, wkwk.
Hasilnya aku belum lolos di beasiswa yang dulu namanya KGSP (Korean Global Scholarship) ini, rasa sedih itu pasti ada tapi saat mengingat proses persiapannya aku jadi bisa tahu mana yang kurang mana yang masih belum sesuai. Beasiswa yang cukup banyak mengeluarkan biaya daripada beasiswa lainnya yang pernah aku ikuti. Dari mulai bikin paspor, translate semua dokumen ke penerjemah tersumpah, bolak-balik legalisir ke notaris untuk appostile dokumen, dan masih banyak lagi. Bagi teman-teman yang mau apply beasiswa ini, bener-bener harus udah siap biaya, pendaftaran beasiswa apa aja tuh gratis, cuma yang mahal ya printilannya itu. Sedikitpun tidak ada perasaan menyesal atau sayang uang kalau untuk beasiswa. Aku bener-bener enjoy menjalaninya. Mulai dari nyusun, ngumpulin, nulis, print, scan, hingga pengiriman berkas fisiknya. Ada seru-serunya. Asli wkwk. Ditambah lagi jadi punya teman sesama scholarship hunter dari grup-grup yang sharing seputar beasiswa terkait.
Turkiye Burslari Scholarship
Ini bener-bener tidak pernah terpikirkan, aku bahkan tidak pernah kepo soal negara ini, tentang bahasanya, budayanya atau lebih spesifik tentang universitas disana. Proses aplikasi beasiswa tuh bener-bener membangun diri kita menjadi lebih teliti dan mau ngga mau harus mencari tahu banyak hal baru, karena ya pasti kalau nyusun essay atau personal statement harus tahu tentang negara tujuan, kehidupan disana, jurusannya, universitasnya serta masih banyak lagi yang harus digali. Beasiswa yang tidak perlu pengiriman berkas fisik ke kantor kedutaan besar. Semua proses pendaftaran melalui website. Beasiswa ini juga tidak mengharuskan applicants untuk punya sertifikat kemampuan bahasa inggris, karena sebelum memulai perkuliahan, diwajibkan mengikuti pengayaan bahasa Turki selama kurang lebih setahun. Bayanganku pada Hagia Sophia dan Museum Mevlana di Konya, cukup membuatku termotivasi untuk coba apply beasiswa YTB (Yurtdışı Türkler ve Akraba Topluluklar Başkanlığı) ini.
LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan)
Kalau ada tulisan ini, berarti ya Beasiswa Turkinya belum juga lolos wkwk. Tahun 2021 merupakan tahun dimana aku total-totalan dalam mengelola timeline antara pekerjaan dan jadwal-jadwal submission beasiswa. Berarti kalau dirunut, di tahun tersebut aku mendaftar beasiswa 4x yaitu GKS 1x, YTB 1x dan LPDP 2x. Dan semuanya gagal. Hahaha.... Entah sudah habis berapa untuk biaya semuanya sejak awal aku memutuskan memilih jalan scholarship hunter ini. Selanjutnya di tahun 2022, aku masih kembali berusaha untuk apply LPDP dengan bekal pengalaman sebelumnya yang sudah sampai pada tahap tes bakat skolastik, namun belum sampai tahap wawancara.
Alhamdulillahirrabilalamiin... terima kasih Ya Allah... Allah Maha Baik, di tahun ini perjalanan beasiswaku berlabuh pada dermaga LPDP. Beasiswa yang justru aku takutkan awalnya karena pendaftar yang ribuan jumlahnya. Mengerahkan semua tenaga dan kesempatan, karena di tahun ini juga sertifikat TOEFL ITP-ku habis masa berlakuknya. Berkat doa dan support dari ibu tercinta, aku bisa bertahan pantang menyerah untuk terus mencoba dan mencoba lagi. Tentu saja teman-temanku yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu, siapapun kalian juga yang baca ini yang udah support baik secara langsung maupun tidak, aku ucapkan banyak terima kasihhhh. Semoga segala hajat kalian dimudahkan dan diwujudkan yaa. Aamiin. :")
0 comments