Esai: Manifestasi Integritas dalam Pendidikan Melalui Humanisasi dan Pembudayaan Apresiasi Menuju Indonesia Emas

by - September 11, 2018

pic source: group.ba

Tahun 2045 adalah momentum yang paling penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, karena pada saat itu kemerdekaan Indonesia memasuki usia 100 tahun. Generasi usia produktif pada tahun 2045 mayoritas akan diisi oleh penduduk yang sekarang berada di jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/SMK). Menurut Badan Pusat Statistik, persentase jumlah penduduk Indonesia tahun 2016 usia 7-24 tahun yang masih sekolah sebesar 71,12%. Generasi tersebut yang nantinya akan mengantarkan Indonesia pada masa keemasan dengan harapan dapat berkontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.
Masih ada waktu selama 27 tahun ke depan untuk Indonesia melakukan investasi besar-besaran pada sumber daya manusia, salah satunya melalui bidang pendidikan. Pembangunan sumber daya manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu pilar dari visi Indonesia 2045 sebagai mega tren dunia. Menurut Abi (2017) tantangan terbesar pada sumber daya manusia saat ini adalah krisis karakter. Krisis karakter terjadi karena di lapangan, pendidikan lebih berorientasi pada hal-hal yang teknis-pragmatis daripada ke hal-hal yang mendasar (filosofis) bahwasannya pendidikan adalah proses pemanusiaan dan pembudayaan. Hal ini terlihat dimana zaman sekarang, peserta didik berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai atau angka terbaik di setiap mata pelajaran akan tetapi mengesampingkan nilai moral yang seharusnya juga perlu diterapkan dalam diri sebaik mungkin.
Pendidikan yang berkualitas dapat mendukung tercapainya cita-cita bangsa dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkarakter. Penilaian sumber daya manusia dalam pendidikan seringkali dilihat dari seberapa tinggi nilai yang diperoleh, dengan kata lain kualitas diukur dengan angka-angka, sehingga tidak mengherankan apabila dalam rangka mencapai target yang ditetapkan sebuah lembaga pendidikan terkadang melakukan kecurangan dan manipulasi. Integritas dalam pendidikan perlu dijunjung tinggi baik pada pemangku kebijakan, tenaga pendidik dan peserta didik. Hal ini akan membawa dampak bagi kemajuan sistem pendidikan di Indonesia. Proses penanaman nilai integritas pada masing-masing elemen tersebut memang tidak semudah membalikkan telapak tangan dan memerlukan waktu yang panjang. Diperlukan peran dari berbagai macam sektor baik formal maupun informal yang harus ikut serta mendukung jalannya manifestasi integritas dalam pendidikan.
Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Nilai-nilai humanis diatas yang tidak bisa dikonversikan ke dalam angka itulah yang perlu menjadi perhatian utama pada saat proses berjalannya kegiatan belajar mengajar di sekolah. Pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang berfokus pada peserta didik, yaitu yang menghargai keragaman karakteristik, mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, mengembangkan kecakapan hidup agar selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungan, memberikan bantuan dalam mengatasi kesulitan pribadi termasuk belajar, serta menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan menilai kemajuan belajar pada masing-masing peserta didik. Mereka perlu dibiasakan untuk bersikap dan berkata jujur bahwa ada Dzat Yang Maha Melihat setiap kegiatan yang mereka lakukan. Peserta didik mengerjakan ulangan atau ujian sekolah secara mandiri, tidak membawa sontekan ataupun memberi sontekan kepada temannya. Dengan demikian peserta didik akan memiliki rasa tanggungjawab terhadap diri mereka sendiri. Seringkali konsep kesetiakawanan menjadi kambing hitam dalam hal ini, peserta didik perlu diberikan pemahaman bahwa saling membantu dalam konteks kecurangan bukan bagian dari konsep tersebut. Peserta didik perlu disuguhkan analogi level dalam sebuah game, jika mereka sekali melakukan kecurangan untuk melaju ke level selanjutnya dan berhasil, mungkin mereka akan terus melaju menggunakan kecurangan tersebut hingga level tertinggi akan tetapi mereka akan kalut apabila dihadapkan dengan pertanyaan “Bagaimana kamu melakukan ini semua? Coba praktikan.”
Kemudian guru dan orang tua tidak perlu khawatir dengan hasil belajar peserta didik yang tidak sesuai dengan harapan. Apresiasi dalam bentuk apapun sangat dibutuhkan oleh peserta didik pada saat itu. Guru tidak perlu membanding-bandingkan hasil belajar satu dengan yang lainnya. Pun orang tua, tidak perlu memberikan hukuman yang justru akan membuat peserta didik berlaku tidak jujur ke depannya. Apresiasi seringkali hanya diberikan kepada mereka yang mendapatkan hasil yang terbaik, dalam hal ini tentu hasil teknis-pragmatis berupa angka-angka, padahal belum tentu mereka yang tidak mencapai target standar nilai yang ditetapkan adalah peserta didik yang bodoh. Paradigma tersebut perlu digeser perlahan, apresiasi patut diberikan kepada siapapun atas penghargaan usaha dan kerja keras peserta didik dalam mengerjakan ulangan atau ujian sekolah. Pembudayaan apresiasi tidak harus dalam bentuk materi, melalui sikap guru dan orang tua yang terus-menerus memberi semangat serta dorongan kepada peserta didik berapapun hasil ujiannya merupakan langkah awal penanaman nilai integritas. Peserta didik menjadi percaya diri dengan usaha mereka sendiri, dengan harapan peserta didik semakin giat belajar dan menjadi pribadi yang berkarakter.
Penanaman nilai-nilai humanis dan pembudayaan apresiasi bergerak optimis dapat membentuk anak-anak Indonesia menjadi generasi emas berkarakter yang membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Generasi yang diharapkan membawa dampak pada masa Indonesia emas nanti termasuk ke dalam zona Generasi Z. Berdasarkan Teori Generasi menurut Karl Mannheim Generasi Z atau yang dikenal dengan istilah iGeneration (Generasi Internet) lahir pada tahun 1996-2010 atau pada tahun ini berusia antara 8-22 tahun. Internet sudah mulai berkembang dan mereka sudah terbiasa menggunakan gawai, sehingga sangat mudah untuk Generasi Z ini beradaptasi dengan teknologi. Mengikuti perkembangan zaman, menanamkan nilai-nilai humanis dan mengedepankan apresiasi dalam sistem pendidikan, pada akhirnya akan menimbulkan sikap integritas dan rasa percaya diri peserta didik untuk terus berinovasi, adalah bentuk investasi bangsa menuju Indonesia emas.

Daftar Pustaka
Abi, A.R. 2017. Paradigma Membangun Generasi Emas Indonesia Tahun 2045. JIPPK, 2(2): 85-90.
Badan Pusat Statistik. 2016. Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur Sekolah dan Partisipasi Sekolah 2002-2016. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Kementerian PPN/Bappenas. 2017. Visi Indonesia 2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Republik Indonesia.


---

Esai ini telah diikutkan dalam INEC (IPB National Essay Competition) Tahun 2018 oleh BEM Sekolah Vokasi IPB dengan mengusung tema "Sistem Pendidikan Menuju Indonesia Emas"

You May Also Like

0 comments

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Powered by Blogger.

Translate