Serapah Abah
Husni merapal setiap malam, yang ia panjatkan hanyalah
kebaikan dan keselamatan bagi Murti. Kepedihan yang berlangsung selama
seperempat windu tersebut hampir menghilangkan kewarasannya.
Ti, sudikah kau mencabut serapah yang sudah kau
muntahkan itu?
Husni terpaku, berada tepat di beranda rumah gadis
cendekiawan itu. Ia mengepalkan tangannya pertanda kecewa, kemudian berbalik
dan berlalu.
Murti hanya mampu berteriak dibalik tirai, menangis
dibalik topeng antagonis dan menerima dibalik pagar pembatas. Tak bisa
dipungkiri seorang gadis yang berada itu tak mungkin menjilat ludah yang sudah
ia keluarkan. Orang berada takut dan tak tahu harus menyembunyikan muka mereka
dimana kalau sampai hal itu terjadi. Namun tidak berlaku untuk Murti, hatinya
sudah terpaut dengan Husni. Sekarung brotowali pun berani ia lahap.
“Abah, bagaimana aku bisa merasakan kepahitan Husni
sampai disini?” Telapak tangan kanan Murti menggetarkan ulu hatinya.
“Serapahku, aku telan seperti juga Husni menelannya. Abah...”
Laki-laki paruh baya itu berlalu. Menutup pintu rumah
sekenanya. Meninggalkan Murti yang terduduk dilantai sambil memeluk nampan yang
tadinya untuk membawa kopi. Murti tersentak meninggalkan tetes demi tetes di
rautnya. Masih terduduk. Kopi diatas meja mulai mendingin. Dingin, layaknya
sikap Abah yang muncul sejak Husni mengantarkan setandan pisang untuknya.
---
“Husni,
hendak pergi kemana?”
“Bantu emak sama bapak di ladang, Murti?”
“Ikut ke ladang, boleh? Murti tidak pernah dibolehkan
main di ladang. Untuk kali ini saja Husni jangan bilang Abah.”
“Aku takut. Murti pulang saja nanti Abah mencari.”
Murti tak bisa menyimpan erat rasa penasarannya
terhadap sesuatu hal yang baru. Apalagi ia sudah beranjak dewasa. Satu-satunya
gadis desa Bulu yang sekolah di kota dan menjadi guru bagi anak-anak desa.
Mulai saat itu ia memberanikan diri melanggar aturan-aturan yang Abah
berlakukan.
Pic source: destianasi-indonesia.com |
“Ti, yang tadi mengantarmu pulang itu Husni yang kau
maksud?” Abah nampak mulai hangat dengan keberadaan Husni.
“Iya, Bah. Besok nak ajak Husni main ke rumah, boleh?”
“Ish... tak patut anak gadis membawa laki-laki masuk
ke dalam rumah. Apa kata orang nanti? kecuali ia datang bermaksud baik untuk
melamar.” Abah sedang asyik membaca surat kabar.
“Di beranda rumah kan bisa, Bah”
“Iya, tapi besok tunggu sampai Abah pulang ya, Abah
ingin lihat dari dekat laki-laki rupawan itu.”
Murti mengembangkan sudut bibirnya. Menurutnya Abah
menjadi lebih bersikap hangat kepadanya. Jarang sekali Abah menerima laki-laki
desa untuk berteman dengan Murti. Sampai-sampai diperbolehkan main ke rumahnya.
“Waalaikumsalam.” Husni dan Murti serempak menjawab salam Abah.
“Bah...” Murti mencium tangan Abah lalu mengambil jas beludru milik Abah dan membawanya masuk ke dalam. Kemudian kembali duduk di kursi rotan di depan Abah dan Husni yang sedang berbincang.
“Abah, ini Murti bawakan kopi kesukaan Abah. Oh iya Bah, ini Husni.” Perbincangan mereka terhenti. Raut wajah Murti berbingar. Husni membalas tatapan Abah dengan senyumnya yang bersahaja.
“Murti, banyak cerita tentang kamu.”
“Oh iya Bah, ini ada sedikit hasil panen dari ladang untuk Abah sekeluarga.”
“Sudah jelas. Kamu tidak ada apa-apanya dibanding Azhar. Lekas habiskan tehmu.”
“Abah...” Dahi Murti berkerut. Abah meninggalkan keduanya. Murti berusaha mencegah Husni meninggalkan tempat duduknya. Malang, Husni dengan cepat mengayuh sepeda onthelnya berharap saat menoleh pandangannya tak lagi pada pagar bercat biru muda itu.
---
“Assalamualaikum.” Sosok laki-laki paruh baya berjalan dari arah pagar halaman
menuju beranda.“Waalaikumsalam.” Husni dan Murti serempak menjawab salam Abah.
“Bah...” Murti mencium tangan Abah lalu mengambil jas beludru milik Abah dan membawanya masuk ke dalam. Kemudian kembali duduk di kursi rotan di depan Abah dan Husni yang sedang berbincang.
“Abah, ini Murti bawakan kopi kesukaan Abah. Oh iya Bah, ini Husni.” Perbincangan mereka terhenti. Raut wajah Murti berbingar. Husni membalas tatapan Abah dengan senyumnya yang bersahaja.
“Murti, banyak cerita tentang kamu.”
“Oh iya Bah, ini ada sedikit hasil panen dari ladang untuk Abah sekeluarga.”
“Sudah jelas. Kamu tidak ada apa-apanya dibanding Azhar. Lekas habiskan tehmu.”
“Abah...” Dahi Murti berkerut. Abah meninggalkan keduanya. Murti berusaha mencegah Husni meninggalkan tempat duduknya. Malang, Husni dengan cepat mengayuh sepeda onthelnya berharap saat menoleh pandangannya tak lagi pada pagar bercat biru muda itu.
---
Detik jam dinding yang teratur menemani Murti yang
sedang terpaku dijendela kamarnya. Detik itu terdengar sangat jelas dan
terkadang membentuk irama yang berganti-ganti dalam imajinasi. Sesunyikah
ini? Gadis itu meraung-raung dalam batin. Desa Bulu nampak lebih
senyap daripada malam-malam biasanya. Menatap kabut malam yang hendak menutupi
bulan. Berharap Husni lupa akan kejadian tadi sore setelah seharian tak ke
ladang atau mengaji di surau bersama. Namun Murti menyadari bahkan ia pun
membenci dirinya sendiri.
Husni bin Mail, tak sudi aku bersamamu lagi. Bahkan
tak ku makan pula pisang yang engkau berikan kepadaku. Azhar lebih lebih
daripadamu. Menyesalku pernah bersanding denganmu. Jangan lagi lagi kau
memanggil namaku.
Murti terus terbayang saat-saat dimana serapahnya ia
muntahkan juga didepan emak dan bapaknya. Dari dasar hatinya Murti yakin Husni
lebih membenci dirinya daripada Abah. Dari dasar hatinya pula Murti masih
berharap Husni memahami, jauh lebih paham bahwa sosok yang berserapah saat itu
bukan dirinya melainkan Abah.
---
Total karya Cerpen yang masuk kurang lebih 1300. Ada 38 cerpen terpilih, 3 sebagai pemenang, 20 sebagai cerpen populer, sisanya masuk sebagai katergori cerpen paling oke tiap genre. Cerpen saya berjudul "Serapah Abah" masuk ke dalam kategori cerpen paling oke di genre cerpen romantis. (Kontes Menulis Cerpen Perdana sastramu.com Tahun 2015)
0 comments