Senja di Langit Abu-Abu
Ia
sampai lupa bagaimana rasanya dipeluk seorang ayah. Sekedar untuk mengobrol pun
jarang. Apalagi untuk jalan berdua. Dua tahun sudah ia tak melihat paras pria
itu setelah insiden perpisahan yang begitu mengiris hatinya.
“Sa,
besok ada acara?”
“Nggak,
ada apa?” Bibirku mengembang sesenti ke
kanan dan kiri. Aku menanti jawaban itu
beberapa jam yang lalu, Sa. Untuk menemuimu saja ku persiapkan sebaik mungkin agar
hadirku membuatmu tersanjung. Gumamku.
---
Seperti biasa, yang aku lakukan sebelum bertemu dengannya, ku rapikan kerah kemejaku, mengacak sedikit rambutku, campuran aroma lemon segar dan bergamot, bunga zaitun, kayu guaiac, dan biji tonka mendarat di bagian tekuk dan bawah lenganku. Aku berharap kehadiranku bisa melupakan sejenak beban di pundaknya. Melupakan segala hal yang berputar-putar di otaknya.
“Kok
aku nggak dikasih tahu ini mau kemana?”
Aku
menahan tawaku agar tidak meledak menjadi bahak. Aku akan membawanya dimana ia
bisa melihat gradasi warna oranye favoritnya. Angin menemani kami menikmati
perkebunan karet yang batangnya condong serempak. Seharusnya bisa menjadi
petunjuk baginya karena merekalah penanda arah dimana tempat ini berujung.
“Jangan
bercanda ya?!” Nada bicaranya terdengar menyentak.
“Iya,
aku serius, Sa. Tenang saja. Aku akan selalu di sampingmu.” Ia menepuk keras
punggungku. Tetap saja tak berpengaruh, sentuhan tangannya yang lembut tak sedikitpun
membuatku kesal. Aku benar-benar telah tenggelam jika disampingnya.
“Sa,
lihat ke depan.”
Hamparan
pasir putih dan pantulan warna biru dari langit yang dibatasi oleh garis linear
membuatnya berdecak kagum. Aku yakin ia tak pernah merasakan sedamai ini. Terlihat
jelas dari hembusan nafasnya yang perlahan menyentuh telinga kananku.
“Ini
masih jauh. Kita sedang berada di atasnya. Pegangan yang kuat, sesekali kita
akan melewati jalanan terjal.” Ia memegang erat jaketku. Kurasakan pipi kanannya
menyentuh punggungku. Ketakutan tentang jalanan yang terjal tidak seberapa
baginya. Kehilangan orang yang ia sayangilah yang menjadikannya takut diatas
segala ketakutan yang berusaha ia tutupi.
Ia
selalu mengingatkanku untuk berkendara dengan hati-hati. Sebenarnya hari ini ia
tak mau pergi jika tidak dengan paksaan. Aku tidak mengenakan helm dan menyuruh
untuk membebaskan rambutnya tanpa helm. Tentu hanya dengannya aku melaju
maksimal 40 km/jam. Setiap aku menaikkan kecepatan ia selalu mengingatkanku
untuk perlahan. Setiap gemuruh awan yang entah tiba-tiba menyajikan gelap ia
selalu menyuruhku untuk berbalik arah. Ia tak pernah memikirkan kebahagiaan
dirinya sendiri. Baginya keselamatan orang-orang yang ia sayangilah yang utama.
“Sa,
apapun yang kamu rasakan, berbagilah. Sepahit apapun itu aku pasti akan
menelannya. Sekalipun kamu berbohong, setidaknya aku tulus membantumu.” Kali
ini pegangannya semakin erat. “Kita hampir sampai.”
Aku
sengaja menghentikan motorku tidak pada area wisata. Aku mengambil celah lain untuk
menikmati pantai itu sehingga jauh dari keramaian.
“Sa,
berlarilah sepuasmu, bermain-mainlah sesukamu, sore ini sampai kapan pun akan tetap
ku tegakkan kelopak ini, akan ku usahakan terjaganya raga ini, tak sedikit pun
aku lengah oleh tingkahmu. Jika aku terlelap nanti, ku pastikan malaikat
mengawasimu agar kamu tak mengikutiku. Percayalah, hati ini akan selalu terpaut
padamu.” Ia tetap pada posisi duduknya sembari memegang erat jaketku.
“Sa?”
“Aku akan melanggarnya.” Ia bergegas turun.
Menarik tangan kiriku yang masih dalam posisi meneyetir. “Ayo, kita lari
bersama-sama.” Matanya berkaca-kaca. Lalu berhenti sejenak.
“Sa,
tak usah kamu sembunyikan air di kantung matamu yang menggemaskan itu. Jika
ayahmu datang dan akan membawamu pergi. Akulah orang kedua yang akan
menghalanginya. Karena yang pertama pastilah sosok ibu yang selama ini kamu
sayangi.”
Ia
kembali menarik tanganku. Mengajakku berlari-larian menerjang hamparan pasir
putih yang begitu bersih. Aku terseret-seret hingga alas kaki aku tinggalkan
entah di sebelah mana. Jarang sekali ia menampakkan giginya yang rapi dan putih
itu. Entah apa yang sedang ia rasakan. Tentu ini membuatnya sangat bahagia.
Rambutnya mengayun manis bagai selendang satin berwarna hitam pekat yang
diterpa angin. Dalam hati aku berdoa, semoga aku tak terkantuk.
“Aku
capek... Hahaha...” Ia menghempaskan tulang duduknya. Nafasnya terengah-engah.
Aku merebahkan punggungku di sampingnya lalu memejamkan mata sejenak. Menghirup
udara perlahan. Bibirku tersungging otomatis menikmati suasana sore ini.
“Han,
jangan merem. Aku takut. Ayo balik. Awan semakin gelap. Aku tak yakin oranye
akan muncul.” Ia mengguncangkan kakiku.
“Han?”
Semakin menjadi-jadi ia mengguncangkan bahu hingga menepuk kedua pipiku. “Han?!
Jangan bercanda, Hanung! bangun!”
“Hahaha...”
Tak kuasa aku menahan bahakku. Hingga membuatku beranjak bangun dalam posisi
duduk. “Sa, Sa, aku tahu sebenarnya bukan awan gelap yang membuatmu ketakutan. Kamu
takut jika aku benar-benar terlelap. Hahaha...”
“Nggak
lucu. Kamu ini bikin aku khawatir saja.” Ia menundukkan kepalanya.
“Prisa!
Lihat!” Aku mengangkat telunjukku ke arah barat. Warna
merah yang menghiasi langit pada saat sang surya
tenggelam dan muncul terjadi karena ada kombinasi penyebaran rayleigh warna biru dan tingkat kepadatan atmosfer bumi. Namun tidak untuk sore itu. Suguhan Tuhan yang
diberikan kepada kami kali ini ialah langit abu-abu dengan garis-garis tipis
oranye yang sesekali tertutupi gumpalan awan yang bergerak.
“Tuhan, persembahkan ini spesial untukmu Sa.”
“Maksudmu?”
“Disaat sedang terpuruk, percayalah masih ada secercah
harapan untuk bangkit.” Serempak kami saling berhadapan. Kedua mata kami
bertautan. Kali ini bendungan air matanya meluap. Payahnya, Ia selalu berusaha
untuk tampil tegar. Dengan sigap kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Aku
meraih rambutnya hingga mendaratkan kepalanya ke bahu kiriku. Kami berdua
tenggelam hingga petang, mensyukuri apa yang dianugerahkan-Nya.
pic source: www.geminisailing.com |
PS: Dari 1.344 naskah peserta yang masuk, sebelumnya sudah ditetapkan 192 Nominator yang naskahnya dibukukan. Rencana awal akan dipilih 100 nominator yang berpeluang menjadi Sang Juara, namun setelah melakukan penjurian ketat, hanya terpilih 81 naskah yang berpeluang masuk ke tahap seleksi selanjutnya. Hasilnya cerpen saya berjudul "Senja di Langit Abu-Abu" harus berhenti di tahap ini. (Lomba Cipta Cerpen Remaja Tingkat Nasional Tahun 2015 oleh Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia)
0 comments