Mahluk Yang Sering Muncul di Timeline
pic source: careerblueprint.com.au |
Abad ke dua puluh satu menggenggam sebuah kenyataan
bahwasannya manusia baik muda maupun tua tumplek
blek menjadi satu dalam wadah yang riuh didendangkan bernama media sosial.
Setiap detik, sekiranya ia bertingkah patutlah dan wajib bagi siapapun
mengetahuinya. Bukan tak mungkin, di era vendhing
machine beraneka ragam dan robot pintar yang memblokir lowongan pekerjaan
para asisten rumah tangga ini, manusia tak kenal lagi yang namanya empati
terhadap sesama. Untuknya mereka kerap menuntut kepekaan, misalnya pada calon
pasangan mereka.
Menurut hemat saya ada banyak versi mereka.
Sidul, sithik-sithik wadul *sedikit-sedikit
mengadu* begitulah versi pertama saya melabelinya. Sidul ini lambat laun akan
menjadi sebuah pola yang pada akhirnya mengatur manusia itu sendiri atau bahkan
menjadi suplemen setiap hari dan bila tidak meminumnya maka tubuh merasa kurang
bugar.
Fenomena macam apa ini?
Diluar manusia se-tipe dengan para
motivator, ada yang sukanya mencocok-logikan
keadaan dengan mencari kata-kata mutiara di tumblr dan sebagainya. Dengan
dasar yang terpenting ada caption untuk
postingannya di instagram. Atau akun yang sekali bikin status, dari yang
awalnya terbaca “baru saja” sampai dasar kalimat ternyata sudah “kemarin”.
Tulisannya panjang. Namun dari beberapa diatas untuk manusia tipe Sidul ini
sangat amat parah sekali. Foto makanan mungkin didahulukan sebelum berdoa, mau
makan nyetatus dulu di facebook,
habis makan nyetatus lagi, on the way pulang dari warung makan kembali
nyetatus, begitu seterusnya tak lagi
terdeteksi kata “privasi” didalam kamus pikirannya. Semakin lama tambahan opsi seperti
sedang makan, garuk-garuk kepala, mengupil, makan sambil garuk kepala dan
ngupil menjadi opsi terbaru di jejaring sosial Path. Dengan begitu kaum ini
menjadi tak susah payah lagi untuk menggabungkan huruf demi huruf.
Menyadur satu kalimat pada Perahu
Kertas-nya Dee Lestari bahwa menurut survei, selain naik becak dan gali kubur,
pekerjaan menghayal dan menulis ternyata juga butuh asupan kalori yang tinggi.
Menulis status, personal message, tweet, caption juga termasuk dalam hal
tersebut bukan? Bagaimana bisa kurus? *bagi yang sedang menjalankan diet* Berapa
banyak kalori yang kau butuhkan setiap hari? Kendati tidak nyetatus saat mau makan tapi mengutip quote sambil nyemil *eh?*
Hak Asasi Manusia pada hakikatnya sudah ada
sejak mereka lahir. Akan tetapi disana-sini masih saja berkoar-koar tentang
bagaimana penegakannya, dimana hak-haknya, atau ingin ganjaran yang setimpal
pada mereka yang merampas hak-haknya. Stop. Ambil cerminmu.
Selayaknya melihat orang lain dengan rambut
acak-acakan di hadapan kita. Perlu jugalah kita periksa kerapian diri lebih
dulu. Sudahkah melakukan hal-hal yang sewajarnya kita lakukan? Persoalan sepele
yang setiap hari dilakukan dengan menggunjing orang berharap orang tersebut
membacanya, memasang foto yang tidak senonoh,
menghabiskan ribuan karakter yang kalau dijumlah dalam sehari bisa menjadi
sebuah buku. Media sosial, semua orang melihat, publik membaca, layar
menjalankan screenshoot, siapapun
pasti tahu dan berhak mendownloadnya,
menyadurnya, bahkan mengadu domba pemilik akunnya. Sepasang jempolnyalah yang
sudah melindas nilai-nilai dari makna Hak Asasi Manusia sendiri. Menepis batas-batas
kewajaran. Beberapa melesat jauh dari kearifan lokal. Kembali lagi, kaitannya
dengan privasi adalah kebijaksanaan masing-masing pribadi. Hati-hati.
0 comments