Dalam sebuah lingkar keluarga yang wajar dan sehat,
Ayah adalah bahu yang lebar dan tangan yang kokoh, setidaknya yang terlihat
oleh anak-anaknya. Tangan Ayah akan meraihmu kapan pun kamu nelangsa, akan
menggamit dan membimbingmu kapan pun kamu memerlukannya. Di pundaknya, kamu
bisa berdiri, sehingga jangkauan tanganmu jauh lebih tinggi ketimbang dia,
hampir-hampir mencapai langit. Maka dia pun bangga kepadamu, tampak dari sorot
matanya yang sarat harap itu. Tapi bagi anak yang tak memiliki Ayah atau
memiliki Ayah tapi tak memenuhi tanggungjawabnya, tidaklah demikian keadaannya.
Dia tak bisa berdiri di pundak siapapun, dia hanya bisa berdiri di atas kakinya
sendiri, itu pun dengan gemetar. Bukan hanya itu, bahkan tempat dia berdiri
tegak harus dia perjuangkan inci demi inci jengkal demi jengkal. Kalau dia hendak
berjalan menempuh masa depannya, tak akan ada tangan terulur membimbingnya, dia
harus meraba raba jalannya sendiri, mungkin jalan yang di ujungnya jurang. Lalu
dia harus balik lagi, memulai lagi. Kamu akan kerap menyahut saat seseorang
lelaki tua manggil “Nak” meskipun panggilan itu tak akan pernah ada untukmu. Di
tiap persimpangan jalan hidupmu, kamu harus berhenti sejenak, menengok beberapa
saat ke belakang, memandang ke bawah, ke tanah yang sudah berbaur dengan air
mata dan keringatmu, lalu, kamu akan mendengar seseorang berkata “Mari jalan
terus Nak” kamu sangka itu suara seorang Ayah, padahal hanya suara
langkah-langkah kakimu sendiri.
Jika kamu kecil tumbuh dalam lingkungan yang buruk saat
kecil, dalam iklim yang sarat konflik dan pertengkaran, maka selain secara
psikologis terganggu, fisikmu juga akan terpengaruh. Tanpa alasan apapun,
wajahmu bisa tiba-tiba tegang, gerak tubuhmu tidak luwes, bahumu sering
terkulai tiba-tiba. Hal itu bisa berlangsung sampai kamu dewasa. Kamu akan
merasa tidak percaya diri dengan tubuhmu, seganteng atau secantik apa pun kamu.
Sumber semua itu adalah nun dari kedalaman bawah sadarmu. Tak ada cara lain,
kamu harus menghadapinya, berdepan depan dengannya, hingga tuntas. Jangan
pura-pura segala baik-baik saja, jangan tak mengakuinya, jangan lari dan
menghindar darinya.
Jika keriangan adalah hak-hak setiap anak-anak dan kamu
dulu tak mendapatkannya maka setidaknya rianglah di masa dewasamu. Rilekslah
dengan tubuhmu, dengan wajahmu, dengan segala yang kamu miliki dan tidak kamu
miliki. Keriangan anak-anak itu ada di lapisan terbawah dari kesadaranmu.
Mungkin sekaranglah saatnya kamu merayakannya. Meski usiamu sudah mulai lewat
20, 30, 40 bahkan lebih dari itu.
---
Tia Setiadi (Fb:
Kian Santang) – Esais dan Redaktur basabasi.co
Tulisan ini saya
publish di blog saya sudah dengan izin penulis secara langsung
0 comments