Suara Langkah Kakimu Sendiri

by - December 09, 2018


Pic source: percikaniman.org

Dalam sebuah lingkar keluarga yang wajar dan sehat, Ayah adalah bahu yang lebar dan tangan yang kokoh, setidaknya yang terlihat oleh anak-anaknya. Tangan Ayah akan meraihmu kapan pun kamu nelangsa, akan menggamit dan membimbingmu kapan pun kamu memerlukannya. Di pundaknya, kamu bisa berdiri, sehingga jangkauan tanganmu jauh lebih tinggi ketimbang dia, hampir-hampir mencapai langit. Maka dia pun bangga kepadamu, tampak dari sorot matanya yang sarat harap itu. Tapi bagi anak yang tak memiliki Ayah atau memiliki Ayah tapi tak memenuhi tanggungjawabnya, tidaklah demikian keadaannya. Dia tak bisa berdiri di pundak siapapun, dia hanya bisa berdiri di atas kakinya sendiri, itu pun dengan gemetar. Bukan hanya itu, bahkan tempat dia berdiri tegak harus dia perjuangkan inci demi inci jengkal demi jengkal. Kalau dia hendak berjalan menempuh masa depannya, tak akan ada tangan terulur membimbingnya, dia harus meraba raba jalannya sendiri, mungkin jalan yang di ujungnya jurang. Lalu dia harus balik lagi, memulai lagi. Kamu akan kerap menyahut saat seseorang lelaki tua manggil “Nak” meskipun panggilan itu tak akan pernah ada untukmu. Di tiap persimpangan jalan hidupmu, kamu harus berhenti sejenak, menengok beberapa saat ke belakang, memandang ke bawah, ke tanah yang sudah berbaur dengan air mata dan keringatmu, lalu, kamu akan mendengar seseorang berkata “Mari jalan terus Nak” kamu sangka itu suara seorang Ayah, padahal hanya suara langkah-langkah kakimu sendiri.

Jika kamu kecil tumbuh dalam lingkungan yang buruk saat kecil, dalam iklim yang sarat konflik dan pertengkaran, maka selain secara psikologis terganggu, fisikmu juga akan terpengaruh. Tanpa alasan apapun, wajahmu bisa tiba-tiba tegang, gerak tubuhmu tidak luwes, bahumu sering terkulai tiba-tiba. Hal itu bisa berlangsung sampai kamu dewasa. Kamu akan merasa tidak percaya diri dengan tubuhmu, seganteng atau secantik apa pun kamu. Sumber semua itu adalah nun dari kedalaman bawah sadarmu. Tak ada cara lain, kamu harus menghadapinya, berdepan depan dengannya, hingga tuntas. Jangan pura-pura segala baik-baik saja, jangan tak mengakuinya, jangan lari dan menghindar darinya.
Jika keriangan adalah hak-hak setiap anak-anak dan kamu dulu tak mendapatkannya maka setidaknya rianglah di masa dewasamu. Rilekslah dengan tubuhmu, dengan wajahmu, dengan segala yang kamu miliki dan tidak kamu miliki. Keriangan anak-anak itu ada di lapisan terbawah dari kesadaranmu. Mungkin sekaranglah saatnya kamu merayakannya. Meski usiamu sudah mulai lewat 20, 30, 40 bahkan lebih dari itu.

---

Tia Setiadi (Fb: Kian Santang) – Esais dan Redaktur basabasi.co
Tulisan ini saya publish di blog saya sudah dengan izin penulis secara langsung































































































































































































































































































































































































































































 

You May Also Like

0 comments

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Powered by Blogger.

Translate