Esai: Manifestasi Integritas dalam Pendidikan Melalui Humanisasi dan Pembudayaan Apresiasi Menuju Indonesia Emas
pic source: group.ba |
Tahun
2045 adalah momentum yang paling penting dalam sejarah perjalanan bangsa
Indonesia, karena pada saat itu kemerdekaan Indonesia memasuki usia 100 tahun.
Generasi usia produktif pada tahun 2045 mayoritas akan diisi oleh penduduk yang
sekarang berada di jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/SMK). Menurut Badan
Pusat Statistik, persentase jumlah penduduk Indonesia tahun 2016 usia 7-24
tahun yang masih sekolah sebesar 71,12%. Generasi tersebut yang nantinya akan
mengantarkan Indonesia pada masa keemasan dengan harapan dapat berkontribusi
nyata bagi kemajuan bangsa.
Masih
ada waktu selama 27 tahun ke depan untuk Indonesia melakukan investasi
besar-besaran pada sumber daya manusia, salah satunya melalui bidang
pendidikan. Pembangunan sumber daya manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi menjadi salah satu pilar dari visi Indonesia 2045 sebagai mega tren
dunia. Menurut Abi (2017) tantangan terbesar pada sumber daya manusia saat ini
adalah krisis karakter. Krisis karakter terjadi karena di lapangan, pendidikan
lebih berorientasi pada hal-hal yang teknis-pragmatis daripada ke hal-hal yang
mendasar (filosofis) bahwasannya pendidikan adalah proses pemanusiaan dan
pembudayaan. Hal ini terlihat dimana zaman sekarang, peserta didik
berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai atau angka terbaik di setiap mata
pelajaran akan tetapi mengesampingkan nilai moral yang seharusnya juga perlu
diterapkan dalam diri sebaik mungkin.
Pendidikan
yang berkualitas dapat mendukung tercapainya cita-cita bangsa dalam mewujudkan
sumber daya manusia yang berkarakter. Penilaian sumber daya manusia dalam
pendidikan seringkali dilihat dari seberapa tinggi nilai yang diperoleh, dengan
kata lain kualitas diukur dengan angka-angka, sehingga tidak mengherankan
apabila dalam rangka mencapai target yang ditetapkan sebuah lembaga pendidikan
terkadang melakukan kecurangan dan manipulasi. Integritas dalam pendidikan
perlu dijunjung tinggi baik pada pemangku kebijakan, tenaga pendidik dan
peserta didik. Hal ini akan membawa dampak bagi kemajuan sistem pendidikan di
Indonesia. Proses penanaman nilai integritas pada masing-masing elemen tersebut
memang tidak semudah membalikkan telapak tangan dan memerlukan waktu yang
panjang. Diperlukan peran dari berbagai macam sektor baik formal maupun
informal yang harus ikut serta mendukung jalannya manifestasi integritas dalam
pendidikan.
Sesuai
dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3
menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Nilai-nilai
humanis diatas yang tidak bisa dikonversikan ke dalam angka itulah yang perlu
menjadi perhatian utama pada saat proses berjalannya kegiatan belajar mengajar
di sekolah. Pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang berfokus pada
peserta didik, yaitu yang menghargai keragaman karakteristik, mengembangkan
potensi peserta didik secara optimal, mengembangkan kecakapan hidup agar
selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungan, memberikan bantuan dalam mengatasi
kesulitan pribadi termasuk belajar, serta menggunakan berbagai cara untuk
mengetahui dan menilai kemajuan belajar pada masing-masing peserta didik.
Mereka perlu dibiasakan untuk bersikap dan berkata jujur bahwa ada Dzat Yang
Maha Melihat setiap kegiatan yang mereka lakukan. Peserta didik mengerjakan
ulangan atau ujian sekolah secara mandiri, tidak membawa sontekan ataupun
memberi sontekan kepada temannya. Dengan demikian peserta didik akan memiliki
rasa tanggungjawab terhadap diri mereka sendiri. Seringkali konsep
kesetiakawanan menjadi kambing hitam dalam hal ini, peserta didik perlu
diberikan pemahaman bahwa saling membantu dalam konteks kecurangan bukan bagian
dari konsep tersebut. Peserta didik perlu disuguhkan analogi level dalam
sebuah game, jika mereka sekali melakukan kecurangan untuk melaju
ke level selanjutnya dan berhasil, mungkin mereka akan terus melaju menggunakan
kecurangan tersebut hingga level tertinggi akan tetapi mereka akan kalut
apabila dihadapkan dengan pertanyaan “Bagaimana kamu melakukan ini
semua? Coba praktikan.”
Kemudian
guru dan orang tua tidak perlu khawatir dengan hasil belajar peserta didik yang
tidak sesuai dengan harapan. Apresiasi dalam bentuk apapun sangat dibutuhkan
oleh peserta didik pada saat itu. Guru tidak perlu membanding-bandingkan hasil
belajar satu dengan yang lainnya. Pun orang tua, tidak perlu memberikan hukuman
yang justru akan membuat peserta didik berlaku tidak jujur ke depannya.
Apresiasi seringkali hanya diberikan kepada mereka yang mendapatkan hasil yang
terbaik, dalam hal ini tentu hasil teknis-pragmatis berupa angka-angka, padahal
belum tentu mereka yang tidak mencapai target standar nilai yang ditetapkan
adalah peserta didik yang bodoh. Paradigma tersebut perlu digeser perlahan,
apresiasi patut diberikan kepada siapapun atas penghargaan usaha dan kerja
keras peserta didik dalam mengerjakan ulangan atau ujian sekolah. Pembudayaan
apresiasi tidak harus dalam bentuk materi, melalui sikap guru dan orang tua
yang terus-menerus memberi semangat serta dorongan kepada peserta didik
berapapun hasil ujiannya merupakan langkah awal penanaman nilai integritas.
Peserta didik menjadi percaya diri dengan usaha mereka sendiri, dengan harapan
peserta didik semakin giat belajar dan menjadi pribadi yang berkarakter.
Penanaman
nilai-nilai humanis dan pembudayaan apresiasi bergerak optimis dapat membentuk
anak-anak Indonesia menjadi generasi emas berkarakter yang membawa perubahan
bangsa ke arah yang lebih baik. Generasi yang diharapkan membawa dampak pada
masa Indonesia emas nanti termasuk ke dalam zona Generasi Z. Berdasarkan Teori
Generasi menurut Karl Mannheim Generasi Z atau yang dikenal dengan
istilah iGeneration (Generasi Internet) lahir pada
tahun 1996-2010 atau pada tahun ini berusia antara 8-22 tahun. Internet sudah
mulai berkembang dan mereka sudah terbiasa menggunakan gawai, sehingga
sangat mudah untuk Generasi Z ini beradaptasi dengan teknologi. Mengikuti
perkembangan zaman, menanamkan nilai-nilai humanis dan mengedepankan apresiasi
dalam sistem pendidikan, pada akhirnya akan menimbulkan sikap integritas dan
rasa percaya diri peserta didik untuk terus berinovasi, adalah bentuk investasi
bangsa menuju Indonesia emas.
Daftar Pustaka
Abi, A.R. 2017. Paradigma Membangun
Generasi Emas Indonesia Tahun 2045. JIPPK, 2(2): 85-90.
Badan Pusat Statistik. 2016. Persentase
Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur Sekolah dan
Partisipasi Sekolah 2002-2016. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Kementerian PPN/Bappenas. 2017. Visi
Indonesia 2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Republik Indonesia.
---
Esai ini telah diikutkan dalam INEC (IPB National Essay Competition) Tahun 2018 oleh BEM Sekolah Vokasi IPB dengan mengusung tema "Sistem Pendidikan Menuju Indonesia Emas"
0 comments