Hulaaa...
lama sekali rasanya tidak bersapa dengan manteman semua melalui celoteh. Enam bulan
terakhir ini disibukkan dengan banyak kegiatan di lapangan, sehingga mau
curi-curi waktu untuk nulis terkalahkan dengan bisikan-bisikan untuk rebahan.
Beberapa dari manteman ada yang menunggu-nunggu postingan celoteh khususnya
pengalaman saya menjalani proyek pengabdian masyarakat di Padang, Sumatera Barat selama beberapa bulan ini. Hmmmm... semoga
ya nanti nemu wangsit untuk nulis panjang lebar.
Ohiya,
sesuai dengan judulnya. Kali ini mau sharing tentang perjalanan kemarin (28/12/2019) seharian di Bukittinggi. Malala,
dalam bahasa minang sendiri artinya jalan-jalan (yang menyenangkan). Perjalanan
ini ingin saya rekam melalui tulisan karena berkesan dan dalam waktu seharian bisa
mengunjungi beberapa tempat-tempat wisata yang ada di Bukittinggi. Mungkin bisa
dijadikan bahan referensi kalau kalian akan berkunjung kesini. Hehe... langsung
saja selamat menyimak!
---
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Awalnya sempat ragu, bisa nggak ya seharian keliling beberapa wisata di Bukittinggi, mengingat cuaca memang sedang musim hujan di Sumbar. Mengecek perkiraan cuaca BMKG untuk hari Sabtu di Bukittinggi aman. Tetapi tiba-tiba.... jam 4 menjelang subuh, hujan deras begitu lebat mengguyur Padang Pariaman (tempat saya tinggal). Wah menarik, rencana berangkat jam 8 pagi tetapi setengah jam sebelumnya masih gerimis. Nggak tahu gimana, jam 8 kurang 10 menit hujan berhenti dan terang. Alhamdulillah...
Saya berangkat bersama salah satu teman selama di Padang, rumahnya tidak jauh dari kos saya tinggal, namanya Ratih. Sepanjang perjalanan, berasa di tour guide-in. Setiap apa yang ditanya maupun tidak ditanya dia menambahkan dan menjelaskan apa-apa yang ada yang kami lihat. Eittsss... tapi ternyata Ratih baru pertama kali ini naik kendaraan umum berpergian jauh, kalau ke Bukittinggi sudah biasa bolak-balik. Jadi benar-benar challenging banget ini perjalanan. Selama ada google, aman wkwk.
Air terjun Lembah Anai dan pemandian alam Mega Mendung (dok. pribadi)
Perjalanan menggunakan travel memakan waktu normal ± 2 jam, tetapi karena weekend dan musim libur sekolah, jalanan macet hingga 2x lipat waktu yang ditempuh. Menuju Bukittinggi dari Padang Pariaman, banyak objek wisata yang bisa dinikmati. Ada air terjun Lembah Anai di Padang Panjang yang populer karena letaknya dipinggir jalan raya. Lalu ada pemandian alam Mega Mendung. Sebelumnya saya sendiri sudah pernah ke Padang Panjang, waktu itu ada kegiatan piknik bersama warga sekitar.
Singkat
cerita kami sampai di Bukittinggi waktu dhuhur. Takjub, Masya Allah tidak
menyangka bisa melihat salah satu ikon Sumbar, yaitu Jam Gadang. Ramai orang
menyebut ikon ini adalah Big Ben-nya Indonesia (London van Sumatera). Uniknya
kalau kalian memperhatikan angka 4 romawi pada jam gadang ditulis IIII bukan IV. Menurut
cerita kenapa ditulis menggunakan I berjajar 4x karena untuk mengenang jasa 4 tukang yang meninggal
saat pembangunan Jam Gadang tersebut.
Sebelum
menikmati perjalanan, Ratih mengajak saya menikmati Nasi Kapau legendaris khas
Bukittinggi. Kedai bernama Uni Lis ini banyak, jadi jangan salah tempat ya. Kedai ini ada di Los Lambuang belakang Pasa Ateh, masih di kawasan Jam Gadang. Eyang Habibie (Alm) dan pejabat-pejabat tinggi lainnya pernah kesini.
Sudah sering masuk acara televisi, surat kabar dan berbagai ulasan dari food vlogger hits Youtube.
Gulai
Kikil (kiri) dan Gulai Tambunsu (kanan) (dok. pribadi)
Berbeda dengan warung makan Nasi Padang, khasnya menu-menu di warung makan Nasi Kapau diletakkan di baskom kemudian diatas meja dengan posisi lebih rendah daripada penjualnya. Sedangkan menu-menu Nasi Padang dipajang di etalase dan lebih tinggi/sejajar dengan penjualnya. Kapau sendiri adalah sebuah nama desa di Kabupaten Agam, Sumbar. Menu utamanya yaitu Gulai Kapau yang terdiri dari sayur kol, kacang panjang dan nangka berkuah kuning kemerahan. Disajikan dengan lauk pilihan, yang paling khasnya yaitu Gulai Tambunsu berupa usus sapi yang diisi dengan adonan telur dan tahu. Penasaran seperti apa rasanya? Kalian wajib coba ya kalau kesini.
Lanjut, kembali lagi ke kawasan Jam Gadang setelah selesai ishoma, ramai sekali suasananya. Hari sangat cerah alhamdulillah dan udara sejuk karena memang daerah dataran tinggi. Kabut pun nampak di sekitar kawasan. Betah sih berlama-lama keliling disini. Suasana menjadi semakin mendayu ketika ada alunan seruling bansi yang melantunkan nada-nada lagu khas Minangkabau. Hmmm... rancak bana, lalok se lah ndak ado doh malala malala :D
Pemandangan sekitar Jam Gadang (dok. pribadi)
Pemain seruling bansi di kawasan Jam Gadang (dok. pribadi)
Puas mengabadikan momen di kawasan Jam Gadang, mengalir begitu saja tanpa rencana, kami berjalan kaki menyusur jalanan menuju Jambatan (jembatan) Limpapeh yang ikonik juga. Lagi-lagi masih di sekitar Jam Gadang, banyak orang memilih jalan kaki karena memang dekat, tetapi bisa juga kalian naik delman. Jembatan tersebut menghubungkan antara Benteng Fort de Kock dengan Kebun Binatang Kinantan. Memang saya menyukai perjalanan random, tentu tidak berekspektasi akan bisa kemana-mana, tujuan utama ke Jam Gadang saja sudah bersyukur.
Jambatan Limpapeh nampak depan (dok. pribadi)
Kocaknya lagi, tujuan utama kami adalah menuju Jambatan Limpapeh tetapi secara tidak sadar kami malah masuk ke Kebun Binatang Kinantan lewat pintu keluar, baru sadar setelah disambut kandang gajah dan anak-anak berlarian kesana kemari. Ya, kami berada di dalam kebun binatang. Sontak kami berdua tertawa terbahak-bahak. Mau keluar dan beli tiket masuk tapi kami sudah sampai dalam (jangan ditiru ya wkwk).
Jadi, akses menuju Jambatan Limpapeh ini saya pribadi tidak tahu (mengikuti saja arahan Ratih), salah satunya bisa melalui kebun binatang Kinantan ini. Ratih pun ternyata tidak tahu kalau pintu keluar tadi itu menuju kebun binatang, dikiranya itu memang satu-satunya jalan menuju Jambatan Limpapeh (baru pertama kali juga dia ke Kinantan ini wkwk). Yah gimana lagi, kami memang niatnya tidak ke kebun binatang, malah jadi wisata tak terduga, gratis pula. Ya Allah... terima kasih atas ketidaksengajaan ini wkwk. Menuju Jambatan Limpapeh dan melewati kandang-kandang hewan, ya kami menikmati sambil tak henti-hentinya menertawakan diri. Anehnya, padahal ada aparat yang menjaga pintu keluar tadi tetapi tidak menegur kami, yang jelas kami memang tidak tahu kalau itu kebun binatang. Padahal setelah kami menengok antrian pintu masuk kebun binatang tersebut, panjangnya Masya Allah... wkwk. Rejeki banget inimah.
Harimau dan Gajah Sumatera di Kinantan (dok. pribadi)
Tidak hanya binatang, di
Kinantan ini ada juga museum Rumah Gadang khas Minangkabau. Gadang sendiri dalam bahasa minang
artinya besar. Biasa juga disebut rumah bagonjong
(bagian yang menjulang pada atap rumah gadang). Seperti pada umumnya di samping kanan kiri sebuah Rumah Gadang ada rangkiang (lumbuang), yaitu lumbung padi
untuk menyimpan padi hasil panen. Lalu juga ada rumah tabuah yaitu tempat untuk bedug.
Saya berada di depan rumah tabuah (dok. pribadi)
Rumah Gadang (dok. pribadi)
Setelah puas keliling kebun binatang, sembari jalan menuju jembatan. Beginilah pemandangan kota Bukittinggi dari atas Jambatan Limpapeh.
Selesai menyeberang masuklah
kami ke Benteng Fort de Kock secara otomatis, ya karena kedodolan peristiwa
masuk gratis tadi. Keluar melalui pintu keluar wisata Benteng Fort de Kock ini
pun kami berdua masih tertawa terbahak-bahak di sepanjang perjalanan.
Benteng
Fort de Kock (dok. pribadi)
Museum Perjuangan (dok. pribadi)
Lumayan jauh kami berkeliling keluar dari pusat Jam Gadang, untuk kembali ke pusatnya kami memutuskan naik angkot. Muter jauh kalau pakai angkot, tetapi lebih baik daripada kaki gempor wkwk. Turun dari angkot, sampailah kami di Janjang Gudang, janjang sendiri artinya tangga. Tangga ini merupakan salah satu akses menuju pusat Jam Gadang. Pusat oleh-oleh di sekitar tangga ini lumayan lengkap. Bisa juga mencari oleh-oleh didalam pasar sekitar Jam Gadang juga ada. Saya membeli beberapa souvenir untuk buah tangan.
Janjang Gudang (dok. pribadi)
Sebagai penutup perjalanan, kami menikmati Ampiang Dadiah dan Sate Agam. Kalau Sate Agam, sama seperti Sate Padang pada umumnya. Nah, Ampiang Dadiah ini yang unik. Kami mampir di kedai Ni Upik masih di kawasan Los Lambuang. Dadiah adalah susu kerbau yang difermentasi secara alami di dalam buluh atau ruas batang bambu. Biasanya fermentasi berlangsung setidaknya selama satu hari penuh. Tetapi umumnya yang ada di pasar berumur dua hari. Bayangkan, minum susu kerbau saja saya tidak pernah, tetapi mengingat dadiah ini mirip yoghurt harapannya rasanya tidak jauh dari yoghurt. Dan benar, teksturnya lembut sejenis krim padat dan memiliki cita rasa yang asam. Ampiang Dadiah sendiri merupakan makanan berbahan dasar dadiah dan ampiang (beras ketan yang ditumbuk pipih) disiram dengan gula aren cair, ditambah parutan es batu dan kelapa. Parutan kelapa, mungkin pada beberapa daerah di Sumbar ada yang tidak diikutkan, karena spesial di kedai Ni Upik ini menjual juga Es Tebak (es campur) sehingga mungkin bisa jadi sebuah ciri khas tersendiri. Selesai ishoma asar di Masjid Raya Bukittinggi, kami pun menuju Simpang Aur, mencari travel untuk perjalanan pulang.
Es ampiang dadiahnya menggiurkan kan? (dok. pribadi)
Drama
terjadi lagi, sampai pukul 6 sore belum juga ada travel menuju Padang, yang ada cuma sampai
Pariaman, hingga adzan maghrib berkumandang. Selesai sholat, alhamdulillah
ada travel arah Padang berhenti di depan mushola kami. Sopir pun tak lantas berangkat,
menunggu sampai kursi penuh dengan penumpang. Memang jarang ada travel kalau sudah
malam hari begini. Perkiraan kami sampai rumah pukul 9 malam, di perjalanan kabut
tebal sekali menutupi jalan, ditambah lalu lintas yang macet dan jalanan
berkelok khas dataran tinggi. Berasa di film Harry Potter dan Twilight wkwk.
Hanya sorot lampu travel yang menjadi penuntun. Dingin dan mencekam tentu.
Sampai-sampai setiap simpang ada penjaga yang mengatur laju kendaraan untuk saling
bergantian lewat, membawa senter karena tidak ada penerangan sama sekali,
kanan kiri jalan yaitu jurang dan hutan. Kami sudah siap sedia cemilan ringan dan minuman saat perjalanan dalam travel untuk menunda lapar. Diluar perkiraan, tetapi
alhamdulillah selamat sampai rumah pukul 10 malam. Benar-benar perjalanan yang
mengesankan untuk menutup tahun 2019 ini. Pun ternyata perjalanan pertama Ratih
menggunakan transportasi umum. Nekat traveller memang selalu menantang dan mengasyikkan. Ketidaktahuan, nyasar, destinasi tidak terduga, rezeki, hal-hal aneh dan unik lainnya ditemukan di sepanjang perjalanan.
Alhamdulillah... Tarimo kasih bana Ratih...
Saya dan Ratih (dok. pribadi)